M2 atau uang beredar adalah indikator penting dalam sistem moneter suatu negara. Di Indonesia, M2 mencakup uang kartal dan giral (M1), ditambah dengan simpanan berjangka dan tabungan dalam rupiah serta valuta asing di bank umum. Data ini diterbitkan secara rutin oleh Bank Indonesia dan menjadi salah satu tolok ukur dalam menilai arah kebijakan moneter.
Data M2 merepresentasikan likuiditas dalam perekonomian. Kenaikan M2 mencerminkan bertambahnya jumlah uang yang beredar di masyarakat, menunjukkan kebijakan moneter yang longgar. Sebaliknya, jika pertumbuhan M2 melambat atau menurun, hal tersebut mengindikasikan adanya pengetatan moneter.
Untuk membaca arah kebijakan moneter dari M2, Anda perlu memperhatikan tiga hal utama:
Bank Indonesia secara rutin melaporkan persentase pertumbuhan tahunan M2. Anda dapat mengakses data pertumbuhan tahunan M2 melalui situs resmi Bank Indonesia www.bi.go.id/id/ dengan masuk ke menu Statistik, lalu pilih Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), kemudian masuk ke kategori Sektor Moneter dan klik bagian Uang Beredar. Di sana, Anda akan menemukan data lengkap mengenai posisi dan perkembangan M2, termasuk persentase pertumbuhan tahunannya.
Sebagai contoh, jika pada Mei 2025 M2 tumbuh sebesar 6 persen secara tahunan (year on year), dan angka ini lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang mencatatkan pertumbuhan 7 persen, maka perlambatan tersebut dapat bisa menjadi indikator berbagai hal.
Salah satu indikasinya adalah adanya kebijakan pengetatan moneter oleh Bank Indonesia, seperti kenaikan suku bunga atau pengetatan likuiditas. Namun, penurunan pertumbuhan M2 juga bisa disebabkan oleh faktor lain, seperti melambatnya penyaluran kredit perbankan, turunnya permintaan uang di sektor riil, atau lemahnya aktivitas ekonomi secara umum.
Sebaliknya, jika pertumbuhan M2 meningkat dari bulan ke bulan, hal ini bisa menjadi sinyal pelonggaran moneter, misalnya melalui penurunan suku bunga atau peningkatan likuiditas sistem keuangan, yang dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Contoh:
M2 supply Indonesia pada Mei 2024 adalah Rp 8.983,3 triliun triliun dan pada Mei 2025 menjadi Rp 9.406,6 triliun, maka pertumbuhan M2 adalah:
Penurunan atau kenaikan pertumbuhan M2, seperti yang terjadi pada contoh di atas, menjadi indikator penting apakah Bank Indonesia sedang mengambil kebijakan moneter yang lebih longgar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi atau lebih ketat.
Inflasi yang tinggi biasanya direspons oleh pengetatan moneter, antara lain melalui pengendalian pertumbuhan M2. Jika inflasi berada di atas target Bank Indonesia dan M2 tetap tumbuh tinggi, ini menandakan bahwa kebijakan moneter mungkin belum cukup ketat.
Sebagai contoh, inflasi Indonesia pada Mei 2024 tercatat 2,84% dan pada Mei 2025 inflasi turun menjadi 1,60%. Sementara itu, M2 Indonesia pada Mei 2025 tercatat tumbuh 4,71% YoY. Jika M2 tetap tumbuh pada tingkat yang cukup signifikan meskipun inflasi menurun, hal ini bisa menunjukkan bahwa Bank Indonesia tengah menjaga kebijakan moneter agar tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa menambah tekanan inflasi.
Sebaliknya, jika M2 mulai ditahan atau dikurangi dan inflasi menurun, seperti yang terlihat pada data Mei 2025, maka besar kemungkinan kebijakan moneter sedang dalam fase restriktif untuk meredam tekanan harga. Penurunan inflasi yang lebih signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan M2 dapat mengindikasikan bahwa Bank Indonesia berhasil mengendalikan likuiditas guna mencapai kestabilan harga, sesuai dengan tujuan kebijakan moneter yang lebih ketat.
Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) dan M2 sering kali menunjukkan hubungan terbalik. Ketika BI Rate meningkat, biaya pinjaman cenderung lebih tinggi, yang dapat menekan permintaan kredit dan memperlambat laju pertumbuhan M2. Sebaliknya, ketika BI Rate diturunkan, biaya pinjaman menjadi lebih rendah, yang dapat mendorong permintaan kredit dan meningkatkan pertumbuhan M2.
Melansir data dari Bank Indonesia, pada April 2025, BI Rate tercatat 5,75%, sementara M2 berada di angka Rp9.390,0 triliun. Kemudian, pada Mei 2025, BI Rate turun menjadi 5,50%, dan pada saat yang sama, M2 mengalami sedikit kenaikan menjadi Rp9.406,6 triliun. Penurunan BI Rate ini mungkin mencerminkan langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memberikan ruang bagi kredit yang lebih terjangkau, yang terlihat dalam kenaikan M2, walaupun tidak signifikan.
M2 bukan hanya alat untuk menilai kebijakan moneter, tetapi juga digunakan sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi nasional. Ketidakseimbangan pertumbuhan M2 terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dapat menimbulkan tekanan inflasi atau deflasi.
Misalnya, katakanlah M2 tumbuh 10 persen sementara PDB hanya tumbuh 4 persen, maka terdapat risiko kelebihan likuiditas yang bisa mendorong inflasi dalam jangka pendek. Sebaliknya, bila M2 tumbuh sangat lambat di tengah peningkatan aktivitas ekonomi, ini bisa menimbulkan kekurangan likuiditas dan menekan pertumbuhan sektor riil.
Sebagai pelaku ekonomi atau pengamat kebijakan, Anda perlu meningkatkan kewaspadaan bila:
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa M2 bukan satu-satunya indikator dalam menilai stabilitas ekonomi. Faktor-faktor lain seperti inflasi inti, neraca perdagangan, indeks kepercayaan konsumen, pengangguran, dan arah kebijakan fiskal juga memiliki peran penting dan saling melengkapi dalam memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi ekonomi suatu negara.
Membaca arah kebijakan moneter melalui data M2 memberikan Anda pemahaman awal tentang bagaimana Bank Indonesia mengelola stabilitas ekonomi. Dengan menganalisis laju pertumbuhan M2, keterkaitannya dengan inflasi dan suku bunga, serta dampaknya terhadap likuiditas, Anda dapat menilai apakah kebijakan moneter sedang berada dalam fase ekspansif, di mana Bank Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan likuiditas, atau dalam fase kontraktif, di mana likuiditas dikurangi untuk menahan inflasi dan mendinginkan ekonomi.
Instrumen investasi reksadana memberikan peluang bagi investor seperti Anda untuk berinvestasi sesuai dengan kondisi kebijakan moneter dan situasi ekonomi yang sedang terjadi. Jika kebijakan moneter longgar dan pertumbuhan M2 meningkat, ini merupakan kesempatan untuk memilih reksa dana saham yang berpotensi memberikan imbal hasil tinggi seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang positif. Di sisi lain, ketika ada pengetatan moneter dan pertumbuhan M2 melambat, reksa dana pendapatan tetap atau reksa dana pasar uang dapat menjadi pilihan yang bijak, memberikan stabilitas dan keamanan bagi portofolio investasi Anda.
Di Makmur, Anda bisa memilih lebih dari 100 produk reksa dana pilihan lainnya baik itu reksa dana pendapatan tetap, reksa dana saham, reksa dana pasar uang, maupun reksa dana campuran. Anda bisa berinvestasi reksa dana dengan memanfaatkan promo seperti promo August Financial Freedom, promo Semua Bisa Makmur dan promo Makmur Premium Tour.
Link: Promo-Promo di Makmur
Unduh aplikasi Makmur melalui link di bawah ini dan berikan ulasan mengenai pengalaman investasi Anda di Makmur.
Perlu diketahui, selain melalui aplikasi, Anda juga dapat menggunakan aplikasi Makmur melalui situs web jika ingin berinvestasi menggunakan laptop atau komputer. Silakan klik link di bawah ini untuk informasi lebih lanjut.
Anda juga dapat menambah wawasan dengan membaca informasi atau artikel menarik di situs web Makmur. Silakan klik link di bawah ini:
Website: Makmur.id
Editor: Merry Putri Sirait (bersertifikasi WPPE)
Penulis: Lia Andani
Key Takeaways: Reksa dana saham merupakan salah satu pilihan yang menarik bagi investor yang ingin memperoleh potensi keuntungan yang cukup tinggi dalam jangka panjang, walaupun risikonya paling besar dibandingkan jenis reksa dana lainnya. Keberhasilan reksa dana saham sangat dipengaruhi oleh keahlian manajer investasi (MI) dalam memilih saham potensial. Dari berbagai sektor, saham sektor perbankan menjadi […]
Key Takeaways: Dalam berinvestasi, penting untuk memahami risiko dan potensi imbal hasil di awal. Salah satu indikator yang sering dijadikan acuan oleh para analis keuangan dan investor profesional adalah risk free rate atau “tingkat bebas risiko”, yang merupakan imbal hasil dari suatu investasi yang dianggap memiliki risiko gagal bayar yang rendah. Instrumen investasi di Indonesia […]
Key Takeaways: Instrumen investasi saham terbagi ke dalam berbagai jenis bila melihat dari karakteristiknya, salah satu yang populer adalah growth stock. Istilah growth stock mulai dipopulerkan oleh Thomas Rowe Price Jr. sebagai strategi investasi pada sekitar tahun 1930–1950-an dan semakin diketahui secara luas setelah Philip A. Fisher merilis buku Common Stocks and Uncommon Profits (1958). […]
Key Takeaways: Pengambilan keputusan investasi yang tepat bisa dipengaruhi oleh berbagai indikator ekonomi. Namun, ada satu indikator yang sangat krusial, yaitu real interest rate atau suku bunga riil. Real interest rate mencerminkan return riil yang Anda dapatkan dari suatu aset investasi setelah disesuaikan dengan inflasi. Dengan memahami dan mempertimbangkan real interest rate, Anda sebagai investor […]
Key Takeaways: Dalam perekonomian, cadangan devisa suatu negara memiliki peran yang sangat penting. Bagi Indonesia, cadangan devisa menjadi salah satu instrumen utama untuk menjaga kestabilan ekonomi. Melansir dari halaman resmi Bank Indonesia (BI), pada Juni 2025 cadangan devisa Indonesia tercatat sekitar 152,6 miliar dolar AS (USD), yang terdiri dari beberapa instrumen. Data dari Badan Pusat […]
Key Takeaways: Saat investasi reksa dana, yang terpenting bukan hanya mempertimbangkan imbal hasil, melainkan juga harus melihat potensi risikonya. Dikarenakan, setiap investasi memiliki ketidakpastian dan peluang yang perlu diukur serta dianalisis secara objektif. Oleh karena itu, Anda juga perlu mengevaluasi apakah imbal hasil tersebut sebanding dengan risiko yang diambil. Salah satu analisis yang bisa membantu […]